Nama : Ruli Novitasari
Kelas : 1DA02
NPM : 48213128
Fenomena Negara
Indonesia
Satinah, TKW
Indonesia kena Hukum Penggal Kepala
Satinah merupakan salah seorang TKW dari ribuan TKW
yang bekerja di Arab Saudi. Ia berasal dari Ungaran, Kabupaten Semarang. Ia
menerima hukuman pancung (penggal kepala) karena membunuh majikannya yang
bernama Muhammed Al Mosaemeri pada tahun 2007.
Kronologi
terjadinya pembunuhan itu pada 17 September 2007. Ketika itu Satinah sedang
berada di dapur, terdengar dari luar sang majikan memanggil namanya. Satinah pun
menghampiri majikannya itu, tiba-tiba tak beberapa lama kemudian majikannya pun
menjambak dan memaki Satinah tanpa dengan alasan yang jelas. Berupaya untuk
menyelamatkan diri, Satinah pun mengambil sebuah penggulung roti, dipukulkanlah
benda itu pada bagian belakang kepala (tengkuk) si majikan hingga akhirnya si
majikan pun tak sadarkan diri dan tewas ditempat. Setelah kejadian itu, Satinah
melaporkan diri ke pihak berwajib, lalu ia diberi kesempatan oleh polisi Arab
untuk mengabari keadaan yang baru saja dialaminya itu. Respon keluarga pun sangat
terkejut.
Pada
tahun 2008, seorang TKW lain asal Indonesia bernama Sri yang saat itu sedang
menemani sang majikan untuk mengunjungi seseorang di rutan tempat Satinah
dipenjara. Satinah pun berbicara banyak mengenai kondisinya kepada Sri. Ia meminta
pada Sri untuk mengabari keluarganya yang berada di Semarang.
Pada
tahun 2009, Satinah menghubungi keluarganya dan mengabarkan bahwa ia sedang
berada di dalam penjara karena membunuh majikannya. Selama 2 tahun dalam
penjara, Satinah tidak disediakan pengacara, tidak ada yang mendampinginya, dan
pemerintah Indonesia pun juga tidak tahu akan hal itu.
Berikut merupakan pernyataan Anis:
Pada
13 Oktober 2009, kakak Satinah ‘Paeri Al Feri’ mengadukan kasus ini pada Migran
Care (lembaga yang menangani para imigram). Setelah itu, kakak Satinah
mendatangi Kementrian Luar Negeri Direktorat Pelindungan WNI dan Badan Hukum
Indonesia untuk mencari bantuan agar adiknya ‘Satinah’ dapat terbebas dari
jeratan hukum ini. Hasilnya yang diterima pun nihil dan tidak ada tanggapan
yang jelas. Selama 2 tahun lamanya, lembaga yang pernah didatanginya itu tidak memberikan
perkembangan apapun.
Tahun
2011, Pemerintah baru melakukan tindakan karena perbincangan mengenai TKI
Indonesia yang akan dihukum pancung sudah tersebar dimana-mana. Pemerintah
bergerak cepat dibantu Satgas dalam penangganan TKI yang akan dihukum mati itu.
Persidangan
yang dialami Satinah, membawa pada titik akhir bahwa ia ditetapkan sebagai yang
bersalah karena telah melakukan pembunuhan dan vonisnya pun tetap yaitu Hukum
Pancung (Penggal Kepala).
Pada
13 Oktober 2011 mendatangi rumah keluarga Satinah yang berada di Semarang dan
memberikan informasi bahwa pihak pemerintah berupaya melakukan negosiasi dengan
keluarga majikan Satinah supaya Satinah bisa terbebas dari hukuman mati.
Keluarga
korban memberikan maaf, namun dengan persyaratan dengan adanya pembayaran diyat
sebesar 500 riyal atau setara dengan Rp 1,25 Milyar. Seiring berjalannya waktu,
tiba-tiba pembayaran diyat naik menjadi 7 juta riyal atau setara dengan Rp 21
Milyar. Hal ini menjadi negosiasi yang alot bagi keluarga korban dan Satinah.
Pembayaran
diyat itu tertunda hingga 4 kali yaitu awalnya pembayarn diyat dilakukan pada
Desember 2012, kemudian diperpanjang hingga Desember 2013, kemudian
diperpanjang lagi hingga Februari 2014, dan 3 April 2014. Negosiasi yang kelima
belum ada informasi yang jelas, hal ini dikarenakan Pemerintah khawatir akan
terjadi preseden bagi semua TKI yang bilamana terkena hukuman pancung,
diharuskan untuk membayar diyat.
Bila
pemerintah memberikan bantuan hukum yang maksimal sejak awal, maka proses hukum
yang dijalani Satinah tidak akan berakhir seperti saat ini. Nyawa Satinah kini
hanya tergantung upaya negosiasi pemerintah Indonesia dengan keluarga majikan
Satinah.
Jumlah Uang Darah Satinah telah disetujui:
Pada
3 April 2014, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BNP2TKI) yang melakukan rapat di Kemenkopulhankam dengan Menko Pulhukan ‘Djoko
Suyanto’, Menteri Luar Negeri ‘Marty Natalegawa’, dan Menakertrans ‘Muhaimin
Iskandar’ menghasilkan keputusan bahwa uang 7 juta riyal diantaranya berasal
dari 3 juta Anggaran Pendapatan Belanja Negara. sedangkan sisanya berasal dari
donatur di Indonesia, Arab Saudi dan asosiasi pengerah tenaga kerja. “Yang sudah
disetorkan saat ini senilai 5 juta riyal, sisanya akan dibayar dalam tempo satu
sampai dua hari kedepan” tutur Gatot pada BBC Indonesia.
Proses Hukum:
Pembayaran 7 juta riyal ini tidaklah membuat kasus
Satinah selesai. Namun masih menghadapi pengadilan hak umum yaitu pelanggaran
terhadap negara. Sementara itu komentar Gatot mengenai kasus Satinah adalah Satinah
itu menganggu ketertiban umum, dengan pelanggaran hukum yang dilakukannya. Sedangkan
pendapat lain dari Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia ‘Hikmahanto
Juwana’ adalah
Dimana letak keadilan, bagi kita
rakyat Indonesia yang berada di sini (Indonesia). Kalau misalnya uang pajak itu
digunakan untuk pembayaran diyat yang seharusnya dilakukan secara kontraktual. Hikmahanto
juga menambahkan pernyataannya, pembayaran diyat akan menimbulkan
kesan pemerintah Indonesia bersedia membayar berapapun, sehingga akan ada pihak
yang meminta uang diyat tinggi di masa datang dan tidak menimbulkan efek jera.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar